Serikat Buruh Muslim Indonesia (SARBUMUSI)
Menjelang Pemilu 1955, Partai NU yang akan bertarung dalam pemilu merasa perlu melakukan konsolidasi massa NU di berbagai sektor, salah satunya sektor perburuhan yang di era 1950-an didominasi oleh SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang dekat atau berafiliasi kepada PKI. Maka dibentuklah Sarbumusi di Pabrik Gula Tulangan Sidoarjo, 27 September 1955.
Dalam perjalanan sejarahnya, Sarbumusi tidak hanya mampu melakukan konsolidasi massa buruh nahdliyin demi pemenangan Pemilu 1955, tapi juga sekaligus mampu menandingi SOBSI. Selain itu, Sarbumusi juga mampu menjadi corong NU yang efektif di bidang perburuhan. Di awal Orde Baru, Sarbumusi yang tampil menjadi serikat buruh terbesar di Indonesia –menyusul dibubarkannya SOBSI pasca G.30.S- melakukan berbagai kritik terhadap kebijakan perburuhan Orde Baru.
Kebijakan yang dikritik Sarbumusi antara lain intervensi asing dalam kebijakan perburuhan Orde Baru. Sudah lazim diketahui bahwa Orde Baru dengan paradigma developmentalisme-nya mencoba “menjinakkan” kekuatan buruh yang di era Orde Lama tumbuh menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan. Dengan menggandeng konsultan perburuhan asing seperti FES (Fredreich Ebert Stiftung), Orde Baru sukses meleburkan semua serikat buruh ke dalam FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia ) pada tahun 1973.
FBSI kemudian menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dimana SPSI menjadi “wadah tunggal” bagi kaum buruh dalam berserikat yang memegang hak monopoli dalam melakukan perundingan penyusunan KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) atau CLA(Collective Labour Agreement) di pabrik. Dengan dilarangnya serikat buruh lain kecuali SPSI untuk melakukan KKB di pabrik, maka Orde Baru telah mencabut “nyawa” serikat buruh yang ada saat itu, termasuk Sarbumusi.
NU pun kehilangan banomnya yang bergerak di bidang perburuhan. Sebagai gantinya, PBNU di era 1990-an membentuk Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja (LPTK) yang hanya berfungsi melakukan kajian bidang perburuhan tapi tidak bisa berfungsi sebagai serikat buruh.
Sarbumusi baru bangkit kembali tahun 1998, setelah pemerintahan Habibie meratifikasi konvensi ILO no 87 tentang Kebebasan Berserikat yang kemudian diimplementasikan oleh UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Sarbumusi kembali resmi menjadi Badan Otonom NU pada Muktamar NU 1999 di Kediri. Sejak deklarasi kebangkitan kembali Sarbumusi oleh Ketua Umum Sarbumusi (alm) Soetanto Martoprasono, maka Sarbumusi bergerak cepat membentuk basis-basis GBLP (Gerakan Buruh Lapangan Pekerjaan) di berbagai pabrik dan perusahaan terutama di Jawa Timur. Sarbumusi juga mampu membentuk basis di pabrik rokok Gudang Garam Kediri dan pada tahun 2000 ketika terjadi pemogokan besar-besaran di Gudang Garam, Sarbumusi melakukan tindakan advokasi.
Di awal tahun 2004, DPP Sarbumusi melakukan reorganisasi setelah (alm) Bapak Soetanto Martoprasono mengundurkan diri dan digantikan Junaidi Ali. Sarbumusi pun mencoba melakukan perluasan keanggotaan dengan membentuk sejumlah pengurus DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) dan DPC (Dewan Pimpinan Cabang) di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun, karena ketatnya persyaratan administratif sesuai UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka banyak DPW dan DPC yang diberikan SK oleh DPP Sarbumusi ditolak melakukan pencatatan di Disnaker Tk. II Kabupaten/Kota. Sesuai ketentuan UU, sebuah DPC atau DPW dapat melakukan pencatatan dirinya di Disnaker Tk. II bila telah mempunyai minimal 5 basis GBLP di pabrik atau perusahaan. Pada umumnya, DPC dan DPW yang ditolak pencatatannya oleh Disnaker Tk. II memang gagal membentuk minimal 5 basis di wilayahnya masing-masing.
Pembentukan basis GBLP di tingkat pabrik atau perusahaan memang tidak mudah. Sebuah basis dapat dibentuk bila mempunyai minimal 10 orang anggota. Setelah itu, basis tersebut dapat mencatatkan dirinya di Disnaker Tk. II. Sesuai ketentuan UU, Disnaker Tk. II tidak punya otoritas untuk menolak permohonan pencatatan dan maksimal 14 hari kerja sudah harus mengeluarkan Tanda Bukti Pencatatan yang –kalau diumpamakan- berfungsi sebagai SIM (Surat Izin Mengemudi). Sesudah basis mendapatkan tanda bukti pencatatan, maka basis tersebut harus melaporkan eksistensi organisasinya kepada manajemen perusahaan sekaligus meminta diterima sebagai mitra kerja pengusaha di internal pabrik. Sesuai ketentuan UU, pihak pengusaha tidak dapat melarang atau menganjurkan pendirian sebuah serikat buruh di lingkungan perusahaannya.
Namun, tentunya para pengusaha banyak yang belum mau menerima kehadiran sebuah serikat buruh dan dalam banyak kasus bahkan mengintimidasi dan juga memecat buruhnya yang membentuk serikat buruh. Walaupun, pihak pengusaha dapat dipidana bila memecat buruh dengan alasan buruh tersebut membentuk serikat buruh, namun proses mediasi di Disnaker Tk. II dan pengadilan di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) yang berlarut-larut menyebabkan banyak buruh yang enggan/membentuk serikat buruh. Pada banyak kasus, walaupun proses mediasi dan proses pengadilan sudah memenangkan pihak buruh namun menurut studi Litbang Depnakertrans, hanya sekitar 66% pengusaha yang mau memenuhi keputusan hukum yang dikeluarkan PHI. Pihak PHI atau Disnaker pun seolah tumpul dalam melaksanakan anjuran atau eksekusi.
Dengan rumit dan berlikunya pembentukan basis, maka sejumlah DPW dan DPC yang sudah mendapat SK yang –kalau diumpamakan- berfungsi sebagai STNK ditolak untuk melakukan pencatatan diri karena tidak mempunyai minimal 5 basis. DPW dan DPC yang tidak punya Tanda Bukti Pencatatan pun tidak mampu berperan secara de jure di tingkat Kabupaten/Kota atau Provinsi. Padahal peranan DPW atau DPC cukup strategis antara lain dalam menentukan UMP/UMK (Upah Minimun Provinsi/Upah Minimum Kabupaten-Kota) setiap tahun.
Namun, dengan segala keterbatasan yang ada, secara nasional Sarbumusi mampu memenuhi persyaratan administratif karena berdasarkan hasil verifikasi keanggotaan SP/SB yang dilakukan Depnakertrans tahun 2007, jumlah anggota Sarbumusi mencapai 96.000 orang. Berdasarkan ketentuan yang ada, SP/SB yang dapat terwakili di tingkat nasional minimal harus mempunyai keanggotaan 50.000 orang. Dengan jumlah anggota 96.000 orang, maka Sarbumusi mendapat 2 kursi di Lembaga Kerja sama Tripartit tingkat nasional dan Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N).
Pentingnya Serikat Buruh Bagi Warga NU di Era Modernisasi-Industrialisasi
Pesatnya pembangunan sejak era Orde baru telah menghantarkan bangsa Indonesia memasuki era modernisasi-industrialisasi yang ditandainya dengan terjadinya proses urbanisasi besar-besaran. Proses urbanisasi tersebut tidak hanya berupa perpindahan penduduk dari desa ke kota, tapi juga berupa berubahnya desa-desa menjadi kota. NU dan warga NU yang selama ini identik dengan kultur pedesaan-tardisonal harus siap menghadapi trend modernisasi dan industrialisasi ini dengan menyiapkan diri agar tidak hanya menjadi objek modernisasi-industrialisasi tapi juga mampu menjadi subjek. Dalam konteks tersebut, maka kehadiran sebuah serikat buruh menjadi sangat penting untuk meningkatkan perlindungan terhadap warga NU yang menjadi buruh. Mengingat kondisi sosial-ekonomi warga NU yang berada pada strata kelas menengah ke bawah, maka mayoritas buruh –dan juga petani- adalah juga warga NU.
Pesatnya pembangunan sejak era Orde baru telah menghantarkan bangsa Indonesia memasuki era modernisasi-industrialisasi yang ditandainya dengan terjadinya proses urbanisasi besar-besaran. Proses urbanisasi tersebut tidak hanya berupa perpindahan penduduk dari desa ke kota, tapi juga berupa berubahnya desa-desa menjadi kota. NU dan warga NU yang selama ini identik dengan kultur pedesaan-tardisonal harus siap menghadapi trend modernisasi dan industrialisasi ini dengan menyiapkan diri agar tidak hanya menjadi objek modernisasi-industrialisasi tapi juga mampu menjadi subjek. Dalam konteks tersebut, maka kehadiran sebuah serikat buruh menjadi sangat penting untuk meningkatkan perlindungan terhadap warga NU yang menjadi buruh. Mengingat kondisi sosial-ekonomi warga NU yang berada pada strata kelas menengah ke bawah, maka mayoritas buruh –dan juga petani- adalah juga warga NU.
Belum lagi kita berbicara tentang warga NU yang terpaksa menjadi buruh migran (TKI) dimana serikat buruh domestik seperti Sarbumusi belum mampu melayani dan melindunginya karena keterbatasan cakupan hukum regional, maka kehadiran sebuah serikat buruh –dalam hal ini Sarbumusi- di lingkungan NU sangat diperlukan. Oleh karena itu, NU harus memberikan perhatian yang memadai terhadap penguatan struktur Sarbumusi dengan cara melakukan sosialisasi kepada PWNU dan PCNU di daerah daerah yang banyak aktivitas industrinya.
0 komentar:
Post a Comment