LSM-LSM ITU…
Kata LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah kata yang sudah sangat familiar terdengar di telinga kita. Karena memang kata ini sangat sering dimuat di media-media cetak, media online, maupun diperdengarkan di media-media elektronik.
Mengutip penjelasan wikipedia tentang LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Kalau kita coba meninjamnya secara bahasa, mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),swadaya berarti kekuatan/tenaga sendiri. Jadi, saya dapat katakan bahwa LSM adalah suatu lembaga yang pengusahaannya dengan tenaga/kekuatan masyarakat. Lalu “pengusahaan” di sini maksudnya bagaimana? Apakah pendiriannnya? Atau usaha untuk menjalankan/mencapai tujuannya? Ya bisa saja kedua-duanya. Toh, memang tidak ada aturan baku yang menjelaskan definisi Lembaga Swadaya Masyarakat.
Meski, sejak awal pertama kali mendengar kata LSM (mungkin saat saya dulu masih di bangku SMP), asosiasi saya mengarah kepada sebuah lembaga yang didirikan dan dikelola penuh oleh tenaga atau sumber dari masyarakat. Jadi tidak berasal dari bantuan pemerintah atau pihak lain. Tapi ada juga yang bilang : “Kan, bisa saja to kalau memang usaha masayarakat itu adalah dengan mencari bantuan ke pemerintah atau pihak-pihak lain?” Iya juga sih.. Kalau sudah demikian, mungkin LSM sama saja dengan Yayasan-Yayasan Sosial lainnya, atau bahkan LSM memang merupakan Yayasan? Ah, saya tidak tahu juga. Yang jelas, menurut saya LSM masuk dalam kategori Organisasi Kemasyarakatan yang mungkin tercakup dalam UU No. 8 Tahun 1985 dan PP No. 18 Tahun 1986. Saya tidak ingin menulis lebih panjang lagi mengenai definisi dan lingkup dari LSM.
Yang ingin saya soroti adalah keberadaan LSM-LSM sampah, kalau boleh saya menyebutnya demikian. Sejatinya, LSM dibuat untuk tujuan yang baik. Saya sangat yakin akan hal ini. Entah itu pemberdayaan masyarakat, bantuan ke masyarakat, sampai pada fungsi kontrol terhadap pemerintah dan aparat yang ada. Tapi sangat disesalkan, saat ini banyak (kata banyakmerupakan kata yang sangat tidak jelas ukurannya, kata yang tidak saya sukai) LSM yang sekarang tidak lebih dari sekedar alat untuk menjatuhkan pemerintah, menggulingkan lawan politik. Atau sebaliknya, untuk melanggengkan kekuasaan. LSM juga dijadikan sarana untuk melakukan pemerasan dan menangguk keuntungan pribadi (baca: duit/doku/uang/fulus). Ah, mumpung ada…, kenapa tidak..?? Mungkin demikian yang ada di pikiran-pikiran mereka itu.LSM yang baik, dan memang benar-benar baik, memfungsikan keberadaanya untuk hal yang berguna tetap ada. Bahkan, mungkin banyak jumlahnya.
Tapi, sekali lagi, LSM-LSM sampah juga tidak sedikit. Serigala-serigala lapar yang siap menerkam siapa saja yang lengah. Alih-alih berdemo menentang suatu kebijakan, nyatanya hanya kamuflasenya untuk mereguk beberapa juta, ratus juta, atau sampai miliaran rupiah dari pembuat kebijakan.Lalu harus bagaimana menangani LSM-LSM sampah ini? Akan ada banyak kerumitan di sini. Apakah perlu dibuat UU atau PP yang tegas untuk mengatur LSM-LSM? Sehingga bisa dilakukan penindakan terhadap pelanggaran oleh LSM yang sampah (meski saya rasa sangat sulit mendapatkan buktinya)? Ah, lagi-lagi banyak kerumitan di sini. Yang ada malah nantinya dibilang memberangus kebebasan berkumpul dan berorganisasi, alat untuk melanggengkan kekuasaan (memang berpotensi untuk itu), dan lain-lain. Repot juga ya…
0 komentar:
Post a Comment